Saat mendapat insformasi, Tapis Blogger akan mengadakan workshop bersama Lembaga Sensor Film, dengan tema Budaya Sensor Mandiri, saya langsung tertarik untuk jadi peserta. Penasaran dengan istilah sensor mandiri. Sempat terbersir pikiran, apa kerja LSF, mengapa masih ada upaya untuk menjadikan sensor mandiri terhadap film, sebagai budaya?
Acara Talk show digelar pada hari Kamis, 11 Oktober 2018 di sebuah cafe yang terbilang baru, Gummati Cafe yang lokasinya tidak jauh dari Perguruan Tinggi Teknokrat di Bandarlampung.
Talkshow menghadirkan dua pembicara, yang pertama dari LSF, Ibu Ni Luh Putu Elly Prapti Erawati, M.Pd, sekretaris komisi 1, bidang penyensoran dan dialog. Pembicara kedua, Mbak Naqiyyah Syam, selaku founder Tapis Blogger.
Di sesi pertama, Ibu Ni Luh yang cantik mengawalinya dengan melontarkan beberapa pertanyaan yang dijawab hampir serentak oleh peserta, dan…jawabannya ternyata…ha ha ha, begitu kira-kira pertanyaannya.
“Kalian lebih memilih film yang tidak disensor atau yang disensor?”
Eh, saya kok agak lupa, ya? Beliau menggunakan kata kalian atau anda atau yang lain?Β Mengingat pesertanya kebanyakan orang-orang muda, yang jelas saya merasakan pilihan kalimatnya komunikatif banget. Hmm, mungkin saya satu-satunya peserta gaek, #eh.
Dan apa jawaban hampir serempak dari peserta?
“Yang tidak disensorrrrrrr!”
Hah!? Saya sempat bengong! Tapi kemudian ikut tergelak! Yah, jawaban jujur! Sebagai orang dewasa, hal itu sepertinya wajar.
“Kenapa?” tanya beliau.
Beberapa peserta menjawab bergantian.
“Pengen lihat karya aslinya.”
“Biasanya yang ori lebih asyik.”
Ha ha ha, Ibu Ni Luh dapat sasaran besar, menyadarkan masyarakat untuk membudayakan sensor mandiri, masyarakat yang pada dasarnya tidak suka sensor.
“Lebih suka nonton film yang mengandung nilai pendidikan atau yang sedikit atau tidak bernilai pendidikan?” Ibu Ni Luh melanjutkan pertanyaannya.
“Tidaaaaak.”
“Film yang kental dengan budaya Indonesianatau film yang menonjolkan budaya asing?”
“Asiiiiiing.”
Entahlah! Itu jawaban iseng, bercanda, untuk kemeriahan atau memang dari dalam hati seperti itu?
Waaah! PR berat untuk LSF, orang tua dan dunia pendidikan, ini!
Kenapa?
Karena yang banyak mengeluhkan pengaruh negatif dari film adalah orang tua dan orang-orang yang peduli dengan pendidikan moral bangsa.
Pada kenyataannya? 100 orang blogger dan influencer medsos yang hadir pada talkshow ini, sebagian besar kurang berminat terhadap film yang disensor.
Berikutnya, Ibu Ni Luh memaparkan data perfileman nasional dan rangking peminatnya. Ternyata yang ada di tingkat tertinggi paling digemari adalah film horror, kemudian disusul film berdasarkan novel terkenal, film remake, yang kermpat berdasarkan judul lagu terkenal.
“Misal, kalian sebagai pebisnis yang bergerak di industri film, pilih yang mana: membuat film horor dengan biaya murah dan laris atau film bernilai pendidikan berbiaya mahal, tapi jumlah penonton sangat sedikit?” Sebuah pertanyaan retoris kembali dilontarkan Ibu Ni Luh.
“Pada umumnya pebisnis akan memilih membuat film horor. Bukankah keuntungan yang dicari dengan membuat film?” Tanpa menunggu jawaban peserta, beliau menyimpulkan sendiri.
Itulah fakta di sebagian masyarakat kita dan sayangnya, yang mendominasi, sehingga kondisi perfileman seperti sekarang ini.
Semakin derasnya kemajuan teknologi informasi menyebabkan bertambah beratnya tugas LSF, dan itu pula yang mendorong LSF berusaha melibatkan masyarakat untuk saling bersinergi membangun karakter bangsa melalui film.
Sebenarnya, apa tugas LSF?
Berdasarkan UU no 33 tahun 2009 pasal 57 ayat 2, tugas LSF adalah:
A. Melakukan pnyeensor film dan iklan film sebelum diedarkan dan atau dipertunjukkan kepad khalayak ramai.
B. Melakukan penelitian dan pemeriksaan judul, tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan suatu film danniklan filmnyang akan diedarkan/dipertunjukkan kepada khalayak umum.
C. Penentuan penggolongan usia penonton film.
Penggolongannusia penonton film : semua umur (SU), 13+, 17+, 21+
Sensor Mandiri
Sensor mandiri adalah perilaku sadar dalam memilah dan memilih film yang akan diproduksi, dipertunjukkan dan /atau ditonton.
Apa saja yang perlu dicermati saat melakukan sensor mandiri?
1. Apa kontennya? Bermanfaatkah untuk ditonton? Nilai-nilai apa yang akan didapat?
2. Sesuaikah dengan usia calon penonton?
3. Apa tujuan dibuatnya/ditontonnya film tersebut?
4. Berpikir kritis dalam mencermati sebuah film.
Sensor mandiri tidak hanya untuk film yang akan ditonton di bioskop, tapi juga seluruh jenis yang bisa diakses, seperti di youtube dan medsos lainnya.
Di sesi kedua, Naqiyah Syam, founder dan ketua Tapis Blogger dengan branding diri Smart Mom, mengupas bagaimana seharrusnya orang tua menjadikan budaya sensor mandiri, sebagai langkah bijak membentuk generasi.
Sebagai ibu dari tiga orang anak yang hidup di jaman milenial, sepertinya mustahil membuat anak steril dari paparan gadget, sedangkan pada kenyataannya, sudah sangat banyak dampak negatif dari penggunaan gadget yang kurang bijak terhadap tumbuh kembang anak.
Ibu harus kreatif mendesain kegiatan untuk anak-anaknya dengan aktivitas positif dan melibatkan banyak gerak, sehingga seminim mungkin berkesempatan menggunakan gadget.
Acara yang dipandu Novi Nusaiba dan dihadiri 100 orang blogger dan influencer ini berlangsung sangat meriah, bertabur hadiah dari banyak sponsor produk lokal Lampung.
Setelah makan siang, menikmati hidangan menu andalan Gummati Cafe, ayam bakar madu yang rasanya maknyussss dengan sambal yangmantab endesss, saya berkesempatan ngobrol dengan Ibu Ni Luh dan dua orang temannya dari LSF.
Sebagai penulis, kalau ada kesempatan, saya senang memberi hadiah kepada nara sumber dari luar daerah, sebagai kenang–kenangan. Dengan ramahnya beliau ngobrol, bertukar pikiran sedikit tentang parenting.
Sebagai ibu, saya sangat berharap peran serta orang tua dalam sensor mandiri ini dapat terwujud, demi terbentuknya generasi berkualitas.
Maak, kok kita gak foto bareng ya. Eaaa
Pas sesi foto-foto, lagi sholat, ketinggalan dehππ
Keren banget nih Umi banyak informasi dan juga banyak teman ya setelah mengikuti Talk Show Budaya Sensor Mandiri ini bersama Tapis Blogger dan LSF RI.
lebih keren narasumbernya, sharing pengalaman ibu milenial sangat dibutuhkan
Seneng ya Mi bisa hadir di acara ini. Semoga sosialisasi ini membuka banyak mata untuk sadar sensor mandiri
aamiin
Hahaha pas ditanya suka yang disensor atau enggak, dan semua kompak jawab enggak, itu adalah moment lucu yang langka di acara Tapis Blogger π Menurutku sih kalau filmnya udah bagus, baik, edukatif, nggak disensor juga nggak masalah.
sebelum nyensor, taunya bagus, gimana? Tetap saja sensor, baru ketahuan bisa lolos full atau perlu diberi catatan dan tuntunan pada adegan tertentu atu konten yg perlu didiskusikan
Sensor mandiri memang perlu banget ya meskipun sudah ada lembaga sensor film yang memiliki tugas pokok dan fungsi untuk mensensor film dan acara yang tampil di televisi.
Saya setuju banget dengan tulisan diatas. Sensor mandiri itu harus memilih dan memilah. Apalagi dengan genggaman smartphone kita dengan beragam informasi. Yg kadang informasi itu bisa saja tidak bermanfaat untuk kita. Terutama untuk anak anak kita.
otoritas orang tua harus ditingkatkan dalam hal perizinan penggunaan gadget oleh anak. Kasihan anak, mereka belum bisa memilih yang terbaik untuk dirinya, buth bimbingan orang tua
Acara luar biasa gini klo sering diadakan pasti warga lampung jadi banyak teredukasi ya mbak. Acara keren, hidangan lezat.. Waah .. Mudah2an punya kesempatan ikutan deh hehe
hu um, pengennya sih, sering-sering
Keren untuk acaranya materinya juga mantap, menurutku sih untuk sensor film ada baiknya dilakukan oleh orang tua dengan cara mendampingi pada saat anak-anak menonton layar televisi atau dengan memilih dan memilah tayangan mana yang diperbolehkan dan yang dilarang
Ya, minimal pendampingan, tapi lebih baik lagi, kalau untuk anak-anak, sibukkan mereka dengan aktivitas yang melibatkan seluruh gerakan anggota tubuh, itu angat baik untuk mengasah kecerdasannya.
keren acaranya, kita jadi bisa memilih dan memilah foto dengan baik π